Masyarakat Bali memiliki puspa ragam jenis gamelan. Dari segi bahan, gamelan Bali ada yang terbuat dari bambu dan umumnya dari campuran logam. Orkestra gamelan tua Bali yang terbuat dari bambu adalah Gamelan Gambang dan yang terbuat dari besi adalah Gamelan Slonding. Kedua barungan yang lazim dihadirkan dalam ritual keagamaan tersebut memiliki karakter musikal yang wingit. Gambang yang teduh nan kudus dan Slonding yang bening-magis menggetarkan relung spiritualitas nurani. Konon, pada zaman Bali Kuno, kedua gamelan ini berkumandang di tempat-tempat pertapaan di tengah hutan atau tempat-tempat terpencil di puncak gunung.
Kini di tenagh semarak perkemabngan Gong Kebyar, Gambang dan Slonding kian sulit dijumpai. Namun, beruntung di Tenganan Pagringsingan, Slonding menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ritual keagamaan. Gamelan yang terbuat dari lempengan-lempengan besi tebal ini disimpan di Bale Agung dan hanya dikeluarkan dan di-tabuh pada prosesi upacara penting. Gamelan yang dimainkan 7-10 penabuh ini tampak mengalun magis mengiringi tradisi Abuang, tari sakral yang dibawakan pasangan pria dan wanita. Slonding juga ditabuh saat menyemangati tradisi makare atau perang pandan.
Di luar Tenganan, Slonding masih dijumpai di beberapa tempat, khususnya desa tua yang termasuk Desa Bali Age. Namun, jika di Tenganan, Slonding masih diusung secara takzim komunitasnya, kondisi di tempat-tempat lainnya memprihatinkan bahkan hampir punah.
Demikian pula halnya Gambang yang keberadaannya telah dilukiskan dalam Candi Penataran di Jawa Timur (abad ke-14 Masehi), kini makin terpinggirkan. Jarang ada upacara agama yang menapilkan gamelan uzur ini. Ansambel gamelan yang juga sudah disebut-sebut dalam Malat (cerita Panji) ini terdiri dari atas 4 buah instrumen bambu yang disebut gambang (pametit, penganter, penyelad, pamero, dan pengumbang), masing-masing dimainkan dengan dua pemukul bercabang dua. Gamelan berlaras pelog tujuh nada ini, kini hanya tampak dimainkan segelintir penabuh usia lanjut.
Padahal, kesenian tua seperti Gambang dan Slonding memiliki kandungan nilai estetik dan ekspresi kultural yang patut diselamatkan. “ISI Denpasar sudah sepatutnya memerankan dirinya untuk menyelamatkan bentuk-bentuk kesenian langka seperti Slonding dan Gambang,” ujar I Wayan Suharta, S.S.Kar., M.Si, Ketua Jurusan Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan ISI.
Dalam rangka menyelamatkan gamelan langka itulah, tambahnya, ISI secara terprogram menundang narasumber gamelan Slonding dan Gambang hadir di kampus untuk menularkan ilmunya kepada generasi muda, para mahasiswa. Kendati belum menggembirakan, tampaknya kepedulian terhadap keberadaan kesenian langka belum sirna sama sekali. Saat Tumpek Krulut lalu, Pemkot Denpasar menghadirkan sekian jenis gamelan langka di Lapangan Puputan Badung, berkumandang bergantian. Demikian pula Dinas Kebudayaan Provinsi Bali secara periodik menyuguhkan bentuk-bentuk kesenian langka di Taman Budaya Denpasar. Sajian kesenian langka juga dapat disimak masyarakat di arena Pesta Kesenian Bali.
Penyelamatan bentuk-bentuk kesenian luhur yang telah mengisi dinamika kehidupan masyarakat, memang mesti disikapi dengan langkah konkret. Cermatilah, pencapaian estetik yang pernah diraih kesenian langka kita belakang tergerus tak terurus. Fungsi-fungsi sosial dan religius yang sempat diisinya terkikis. Makna-makna kultural dan filosofis yang dulu mengawalnya terpental entah ke mana. Tragisnya, kesenjangan bentuk-bentuk kesenian itu dengan generasi muda, makin lebar. Orientasi masyarakat kita di tengah gelombang globalisasi yang cenderung materialistis-kapitalistik, membuat butir-butir budaya itu tergelincir.
Oleh karena makin tak diperdulikan, bukan hanya di Bali, tidak sedikit bentuk-bentuk kesenian itu teronggok do pojok, hidup payah mati pun pasrah. Komunitas pendukungnya pun tak lagi memiliki ikatan batin dengan nilai keindahan yang mungkin dulu pernah disanjung-sanjung dan dibanggakan. Di Bali yang keseniannya integral dengan riuhnya upacara keagamaan juga harus berkonfrontasi dan berkompromi dengan perubahan zaman.
Sakaratul maut sedang menjemput dan merenggut sebagian nilai-nilai tradisi, termasuk warisan kesenian tradisional Bali. Padahal jika kita sadar adanya kandungan estetik-spiritualnya warisan seni tradisi dalam Gamelan Gambang dan Slonding tersebut justru dapat menjadikan modal kultural yang dapat diandalkan dalam percaturan globalisasi sekarang ini. Sayang, jagat kepariwisataan Bali belum mengeksplorasi alunan gamelan kuno Gamang dan Slonding sebagai subjek dan objek musik dalam konteks wisata spiritual.