Artikel yang cukup menarik mengenai Babak Baru Perseteruan "Cicak Vs Buaya"
KASUS penahanan dua wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, oleh Polri, Kamis (29/10/2009) lalu, menimbulkan gelombang pro dan kontra di masyarakat.
Bagi mereka yang mendukung tindakan Polri, sebagai aparat penegak hukum Polri berwenang menangani masalah itu tanpa harus ada intervensi dari pihak mana pun. Bagi mereka yang kontra, sebaliknya: tindakan Polri itu tidak perlu dilakukan karena kedua pimpinan KPK nonaktif itu sangat kooperatif selama proses penyidikan oleh Polri.
Lanjut baca Babak Baru Perseteruan "Cicak Vs Buaya"
Keduanya dijadikan tersangka dan ditahan oleh Polri karena dituduh menyalahgunakan wewenangnya terkait kebijakan pencekalan terhadap Direktur PT Masaro Anggoro Widjaja serta pencekalan dan pencabutan cekal mantan Direktur Utama PT Era Giat Prima Joko S Tjandra yang diduga melakukan tindakan korupsi. Padahal, jika keduanya diduga melakukan tindak pidana korupsi penyuapan, mengapa bukan itu tuduhannya dan mengapa pula mereka yang melakukan penyuapan tidak dijadikan tersangka?
Kasus ini tidak akan ramai dibicarakan orang seandainya tidak ada testimoni dari mantan Ketua KPK Antasari Azhar, yang menyebut dua unsur pimpinan KPK itu menerima suap terkait kasus yang melibatkan Direktur PT Masaro Anggoro Widjaja. Istilah "kriminalisasi KPK" juga muncul akibat beredarnya transkrip rekaman percakapan antara Anggodo Widjaja (adik Anggoro Widjaja) dan sejumlah orang, termasuk pejabat di Kejaksaan Agung dan Polri yang diduga berisi rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Di dalam transkrip itu juga terungkap "pencatutan" nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang seolah-olah merestui kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK itu.
Gelombang Dukungan
Kasus Bibit dan Chandra menjadi ramai karena diduga ada persekongkolan politik antara penguasa, penegak hukum, dalam hal ini Polri dan Kejaksaan Agung, dan pelaku korupsi untuk mengkriminalisasikan para pimpinan KPK yang tujuan akhirnya ialah melemahkan KPK. Gelombang dukungan terhadap Bibit dan Chandra bukan saja datang dari masyarakat yang aktif di dunia maya (internet), melainkan juga dari kalangan intelektual, aktivis antikorupsi, dan beberapa tokoh masyarakat.
Mereka amat peduli pada nasib KPK sebagai lembaga independen yang selama ini masih mendapatkan tempat teratas dalam kepercayaan masyarakat pada institusi penegak hukum yang membongkar kasus korupsi, di atas institusi Polri, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung. Dalam kacamata masyarakat yang melek hukum dan politik, ada unsur ketidakpatutan (unfairness) oleh Polri dalam penanganan kasus para pimpinan KPK tersebut.
Jika Polri benar-benar memenuhi asas kepatutan, seharusnya polisi tidak memiliki kepentingan (disinterested), tidak memiliki perhatian (unattentive) atau bersikap tidak memihak (imparsial) dan harus profesional dalam menyelesaikan kasus itu. Berbagai kalangan menduga Polri menjadi "pion" persekongkolan politik antara penguasa dan pengusaha nakal, yang bertujuan melemahkan KPK serta menghancurkan kredibilitas para pimpinan KPK agar penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi tidak mendapatkan dukungan riil masyarakat.
Persekongkolan politik itu justru menimbulkan gelombang protes masyarakat yang bertujuan menyelamatkan KPK. Semboyan "Cinta Indonesia, Cinta KPK" bukan gema slogan kosong semata, melainkan tumbuh berkembang menjadi kekuatan rakyat melawan rezim kesewenang-wenangan. Seandainya Polri menjadi bagian dari aparat penegak hukum yang independen, gelombang demonstrasi di depan Mabes Polri tidak akan terjadi. Apa yang dilakukan masyarakat bukan berarti mereka lebih mencintai KPK dan membenci Polri, sebaliknya justru rakyat ingin menunjukkan kecintaan mereka kepada institusi Polri yang menjadi garda terdepan penegakan hukum di Indonesia.
Jika Polri menjadi institusi independen yang lepas dari intervensi kekuasaan untuk kepentingan penguasa, citra Polri di mata masyarakat tentu akan semakin baik. Biar bagaimanapun Polri adalah institusi penegak hukum yang akan terus ada selama republik ini masih ada. Sedangkan KPK dan berbagai komisi yang lain hanyalah institusi yang bersifat sementara-yang keberadaannya tergantung pada kapan era transisi di Indonesia berganti menjadi situasi normal. Pimpinan dan jajaran Polri seharusnya sadar bahwa mereka mengemban amanat rakyat.
Bukan saja sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat; melainkan juga sebagai salah satu unsur utama penegakan hukum di Indonesia. Jika langkah Polri lebih dikendalikan oleh kepentingan ekonomi, politik, dan hukum duet "penguasa dan pengusaha nakal", upaya Polri untuk memperbaiki citranya melalui langkah-langkah quick-wins yang terpampang di berbagai sudut kota-kota besar di Indonesia tentu tidak akan tercapai. Siapa pun yang berkuasa dapat melakukan langkah "cuci tangan" ketika masyarakat mencium adanya kejanggalan di dalam kasus penegakan hukum di Indonesia.
Ketika itu terjadi, Polri pun menjadi sasaran tembak kritik dari masyarakat. Ini patut disayangkan karena dalam dua bulan terakhir ini nama Polri sedang melambung tinggi karena keberhasilannya dalam melemahkan kelompok teroris yang dipimpin oleh Noordin M Top. Keberhasilan Polri yang begitu baik menjadi sirna akibat adanya berbagai kejanggalan dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan para pimpinan KPK.
Herannya pula, mengapa ada perwira tinggi Polri yang dengan ringannya memberi label persoalan antara KPK dan Polri ini sebagai perseteruan antara "cicak versus buaya". Istilah itu menjadi aneh karena cicak dan buaya masih satu keluarga binatang melata yang tidak mungkin berseteru atau saling memakan satu sama lain.
Tumbal
Kini, setelah Presiden SBY bertemu dengan empat tokoh-Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki, dan guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana-diusulkan tiga opsi penyelesaian. Pertama, gelar perkara kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah; kedua, pembentukan tim pencari fakta; ketiga, proses hukum bagi yang terlibat kasus itu.
Kita harap ini bukan bagian dari etalase politik untuk memperbaiki citra SBY yang mulai agak menurun terkait dengan komitmennya pada pemberantasan kasus-kasus korupsi. Jika itu hanya digunakan sebagai etalase politik penguasa, tinggallah Polri menjadi pelengkap penderita, kalau tidak dapat dikatakan sebagai tumbal, dalam perkara yang melibatkan kasus para pimpinan KPK.
Satu hal yang kita takutkan ialah kalau kemudian muncul tuduhan dari kalangan Istana sendiri bahwa tindakan Polri sewenang-wenang, tidak melalui due process yang benar, alasan Polri menjadikan dua pimpinan KPK tersebut sebagai tersangka amat lemah, Polri juga dipandang terlalu arogan menempatkan diri sebagai "buaya" yang lebih besar daripada KPK yang hanya sebesar "cicak". Jika ini terjadi amat sulit bagi Polri untuk mengembalikan citranya sebagai aparat penegak hukum yang tepercaya. Quo vadis Polri?
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
KASUS penahanan dua wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, oleh Polri, Kamis (29/10/2009) lalu, menimbulkan gelombang pro dan kontra di masyarakat.
Bagi mereka yang mendukung tindakan Polri, sebagai aparat penegak hukum Polri berwenang menangani masalah itu tanpa harus ada intervensi dari pihak mana pun. Bagi mereka yang kontra, sebaliknya: tindakan Polri itu tidak perlu dilakukan karena kedua pimpinan KPK nonaktif itu sangat kooperatif selama proses penyidikan oleh Polri.
Lanjut baca Babak Baru Perseteruan "Cicak Vs Buaya"
Keduanya dijadikan tersangka dan ditahan oleh Polri karena dituduh menyalahgunakan wewenangnya terkait kebijakan pencekalan terhadap Direktur PT Masaro Anggoro Widjaja serta pencekalan dan pencabutan cekal mantan Direktur Utama PT Era Giat Prima Joko S Tjandra yang diduga melakukan tindakan korupsi. Padahal, jika keduanya diduga melakukan tindak pidana korupsi penyuapan, mengapa bukan itu tuduhannya dan mengapa pula mereka yang melakukan penyuapan tidak dijadikan tersangka?
Kasus ini tidak akan ramai dibicarakan orang seandainya tidak ada testimoni dari mantan Ketua KPK Antasari Azhar, yang menyebut dua unsur pimpinan KPK itu menerima suap terkait kasus yang melibatkan Direktur PT Masaro Anggoro Widjaja. Istilah "kriminalisasi KPK" juga muncul akibat beredarnya transkrip rekaman percakapan antara Anggodo Widjaja (adik Anggoro Widjaja) dan sejumlah orang, termasuk pejabat di Kejaksaan Agung dan Polri yang diduga berisi rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Di dalam transkrip itu juga terungkap "pencatutan" nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang seolah-olah merestui kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK itu.
Gelombang Dukungan
Kasus Bibit dan Chandra menjadi ramai karena diduga ada persekongkolan politik antara penguasa, penegak hukum, dalam hal ini Polri dan Kejaksaan Agung, dan pelaku korupsi untuk mengkriminalisasikan para pimpinan KPK yang tujuan akhirnya ialah melemahkan KPK. Gelombang dukungan terhadap Bibit dan Chandra bukan saja datang dari masyarakat yang aktif di dunia maya (internet), melainkan juga dari kalangan intelektual, aktivis antikorupsi, dan beberapa tokoh masyarakat.
Mereka amat peduli pada nasib KPK sebagai lembaga independen yang selama ini masih mendapatkan tempat teratas dalam kepercayaan masyarakat pada institusi penegak hukum yang membongkar kasus korupsi, di atas institusi Polri, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung. Dalam kacamata masyarakat yang melek hukum dan politik, ada unsur ketidakpatutan (unfairness) oleh Polri dalam penanganan kasus para pimpinan KPK tersebut.
Jika Polri benar-benar memenuhi asas kepatutan, seharusnya polisi tidak memiliki kepentingan (disinterested), tidak memiliki perhatian (unattentive) atau bersikap tidak memihak (imparsial) dan harus profesional dalam menyelesaikan kasus itu. Berbagai kalangan menduga Polri menjadi "pion" persekongkolan politik antara penguasa dan pengusaha nakal, yang bertujuan melemahkan KPK serta menghancurkan kredibilitas para pimpinan KPK agar penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi tidak mendapatkan dukungan riil masyarakat.
Persekongkolan politik itu justru menimbulkan gelombang protes masyarakat yang bertujuan menyelamatkan KPK. Semboyan "Cinta Indonesia, Cinta KPK" bukan gema slogan kosong semata, melainkan tumbuh berkembang menjadi kekuatan rakyat melawan rezim kesewenang-wenangan. Seandainya Polri menjadi bagian dari aparat penegak hukum yang independen, gelombang demonstrasi di depan Mabes Polri tidak akan terjadi. Apa yang dilakukan masyarakat bukan berarti mereka lebih mencintai KPK dan membenci Polri, sebaliknya justru rakyat ingin menunjukkan kecintaan mereka kepada institusi Polri yang menjadi garda terdepan penegakan hukum di Indonesia.
Jika Polri menjadi institusi independen yang lepas dari intervensi kekuasaan untuk kepentingan penguasa, citra Polri di mata masyarakat tentu akan semakin baik. Biar bagaimanapun Polri adalah institusi penegak hukum yang akan terus ada selama republik ini masih ada. Sedangkan KPK dan berbagai komisi yang lain hanyalah institusi yang bersifat sementara-yang keberadaannya tergantung pada kapan era transisi di Indonesia berganti menjadi situasi normal. Pimpinan dan jajaran Polri seharusnya sadar bahwa mereka mengemban amanat rakyat.
Bukan saja sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat; melainkan juga sebagai salah satu unsur utama penegakan hukum di Indonesia. Jika langkah Polri lebih dikendalikan oleh kepentingan ekonomi, politik, dan hukum duet "penguasa dan pengusaha nakal", upaya Polri untuk memperbaiki citranya melalui langkah-langkah quick-wins yang terpampang di berbagai sudut kota-kota besar di Indonesia tentu tidak akan tercapai. Siapa pun yang berkuasa dapat melakukan langkah "cuci tangan" ketika masyarakat mencium adanya kejanggalan di dalam kasus penegakan hukum di Indonesia.
Ketika itu terjadi, Polri pun menjadi sasaran tembak kritik dari masyarakat. Ini patut disayangkan karena dalam dua bulan terakhir ini nama Polri sedang melambung tinggi karena keberhasilannya dalam melemahkan kelompok teroris yang dipimpin oleh Noordin M Top. Keberhasilan Polri yang begitu baik menjadi sirna akibat adanya berbagai kejanggalan dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan para pimpinan KPK.
Herannya pula, mengapa ada perwira tinggi Polri yang dengan ringannya memberi label persoalan antara KPK dan Polri ini sebagai perseteruan antara "cicak versus buaya". Istilah itu menjadi aneh karena cicak dan buaya masih satu keluarga binatang melata yang tidak mungkin berseteru atau saling memakan satu sama lain.
Tumbal
Kini, setelah Presiden SBY bertemu dengan empat tokoh-Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki, dan guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana-diusulkan tiga opsi penyelesaian. Pertama, gelar perkara kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah; kedua, pembentukan tim pencari fakta; ketiga, proses hukum bagi yang terlibat kasus itu.
Kita harap ini bukan bagian dari etalase politik untuk memperbaiki citra SBY yang mulai agak menurun terkait dengan komitmennya pada pemberantasan kasus-kasus korupsi. Jika itu hanya digunakan sebagai etalase politik penguasa, tinggallah Polri menjadi pelengkap penderita, kalau tidak dapat dikatakan sebagai tumbal, dalam perkara yang melibatkan kasus para pimpinan KPK.
Satu hal yang kita takutkan ialah kalau kemudian muncul tuduhan dari kalangan Istana sendiri bahwa tindakan Polri sewenang-wenang, tidak melalui due process yang benar, alasan Polri menjadikan dua pimpinan KPK tersebut sebagai tersangka amat lemah, Polri juga dipandang terlalu arogan menempatkan diri sebagai "buaya" yang lebih besar daripada KPK yang hanya sebesar "cicak". Jika ini terjadi amat sulit bagi Polri untuk mengembalikan citranya sebagai aparat penegak hukum yang tepercaya. Quo vadis Polri?
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI