Sosok Gus Dur memang sangat fenomenal dan melegenda. Kisah cerita kolor dan kaos oblong sebagai pakaian resmi di Istana Negara semasa masih menjabat sebagai presiden menjadi simbol efisiensi dan bukti kesederhanaan yang tertanam di jiwa beliau yang anti kerumitan. Gitu Aja Kok Repot! Jangan lupa membaca berita Gusdur mengalahkan Avatar dan Sherlock Holmes.
EFISIEN, hemat, dan sederhana. Itulah tiga kata kunci yang selalu menjadi landasan Gus Dur dalam menjalani kehidupannya. Tiga kata itu pula yang jadi alasan kenapa Gus Dur kemudian memilih tinggal di Istana Merdeka setelah MPR menetapkannya sebagai Presiden RI ke-4.
Dengan Presiden tinggal di Istana, selain efisien dalam waktu, uang negara dalam jumlah milyaran rupiah memang bisa dihemat.
Sebab ada atau tidak ada Presiden di dalamnya, Istana tetap harus dijaga dan dirawat. Sedangkan kalau Presiden tinggal di rumah sendiri, biaya untuk penjagaan dan perawatan rumahnya kurang lebih sama. Jadi dengan tinggal di Istana, selain menghemat biaya penjagaan dan perawatan, juga mengurangi biaya perjalanan pergi-pulang Presiden dari rumah dan Istana. Sebab meskipun di dalam kota, perjalanan Presiden butuh banyak biaya. Maklum, sepanjang jalan antara rumah dan Istana, ada ratusan personel TNI plus Polri yang berjaga-jaga.
Akan tetapi, dengan tinggal di Istana, maka Istana pada saat-saat tertentu bisa menjadi “rumah biasa” bagi Presiden dan keluarganya. Bisa saja suatu ketika ada anak, keponakan atau cucu Presiden berlari-lari di dalam atau di halaman Istana. Inayah, putri bungsu Gus Dur, misalnya, pernah dikejar-kejar Paspampres ketika bersepeda di halaman Istana. Inayah disangka warga sekitar yang nyelonong ke Istana. Maklum, selama puluhan tahun memang tak ada anak-anak bersepeda di dalam Istana. Kebetulan juga sepeda yang dipakai Inayah sepeda biasa, seperti milik anak-anak di kampung sebelah.
Gus Dur sendiri, bila jam kerja sudah selesai, dan tak ada acara lagi di Istana Merdeka, segera berganti kostum. Biasanya kaus oblong dengan kombinasi sarung atau celana kolor biasa. Dengan pakaian begini, kalau tidak tiduran di kamar, Gus Dur duduk di ruang kerja mendengarkan audio book, wayang kulit, atau musik. Hendardi, ketika masih memimpin PBHI, pernah diterima Presiden di ruang kerjanya dengan hanya bercelana kolor dan kaus oblong. Karena penggiat HAM ini datang ke Istana pada hari libur, Minggu siang. Ketika ngobrol, Presiden duduk santai dengan satu kaki naik di atas kursi. Kayak di warung itu.
Pada Senin, 23 Juli 2001 itu, karena tidak ada acara, apalagi karena acara kepresidenan biasanya diselenggarakan di Istana Negara yang menghadap ke Jalan Juanda, Gus Dur seharian hanya mengenakan kostum yang biasa dipakai di rumah. Tapi pada Senin yang kelam dalam kehidupan ketatanegaraan kita itu, sejak pukul 16.53 Gus Dur sudah bukan Presiden RI lagi. Sebab di Senayan, MPR yang menyelenggarakan Sidang Istimewa sudah melantik Megawati sebagai penggantinya. Sementara para pendukung Gus Dur yang berkerumun depan Istana, hingga pukul 20.45 tak kunjung melihat dan mendengar kabar tokoh yang dipujanya.
Karena ada desakan via telepon selular dari beberapa tokoh yang berada di luar, agar Gus Dur menemui para pendukungnya, atau paling tidak sekedar melambaikan tangan dari beranda Istana, maka saya yang seharian menemani Gus Dur, menyampaikan kepada beliau. Gus Dur bersedia.
Tapi ketika saya tanya, apakah tidak sebaiknya ganti pakaian dulu, Gus Dur menolak sambil ketawa. “Biarin gini aja. Biasanya kan jam segini memang begini…,” kata Gus Dur. Jawaban yang sama juga disampaikan Gus Dur ketika Yenny menyampaikan hal yang sama.
Maka pada Senin, 23 Juli 2001 pukul 20.50 itu, Gus Dur mencul di beranda dengan kaus oblong dan celana (kolor) pendek itu. Banyak orang menafsirkan kostum ini dengan berbagai interprestasinya sendiri. Dan setelah Istana tak lama kemudian kebanjiran, ada yang mengaitkan penampilan Gus Dur dengan celana pendek itu sebagai isyarat…
Peristiwa itu memang terasa menyakitkan. Tapi bagi kaum nahdliyin dan para pendukung Gus Dur, hal yang paling menyakitkan adalah ketika Andi Malarangeng, ketika itu pengamat politik, menyerukan agar aparat menyeret Gus Dur keluar dari Istana bila tidak mengindahkan keputusan SI MPR dan tetap bertahan.
Sebelumnya, ketika warga Nahdliyin di Jawa Timur bergolak dan meminta MPR tidak menggelar Sidang Istimewa, bekas jubir Presiden Yudhoyono yang kini Menpora itu, menyebut Gus Dur sebagai Presiden Jawa Timur. rakyat merdeka. Riwayat Kolor Presiden Gus Dur.
EFISIEN, hemat, dan sederhana. Itulah tiga kata kunci yang selalu menjadi landasan Gus Dur dalam menjalani kehidupannya. Tiga kata itu pula yang jadi alasan kenapa Gus Dur kemudian memilih tinggal di Istana Merdeka setelah MPR menetapkannya sebagai Presiden RI ke-4.
Dengan Presiden tinggal di Istana, selain efisien dalam waktu, uang negara dalam jumlah milyaran rupiah memang bisa dihemat.
Sebab ada atau tidak ada Presiden di dalamnya, Istana tetap harus dijaga dan dirawat. Sedangkan kalau Presiden tinggal di rumah sendiri, biaya untuk penjagaan dan perawatan rumahnya kurang lebih sama. Jadi dengan tinggal di Istana, selain menghemat biaya penjagaan dan perawatan, juga mengurangi biaya perjalanan pergi-pulang Presiden dari rumah dan Istana. Sebab meskipun di dalam kota, perjalanan Presiden butuh banyak biaya. Maklum, sepanjang jalan antara rumah dan Istana, ada ratusan personel TNI plus Polri yang berjaga-jaga.
Akan tetapi, dengan tinggal di Istana, maka Istana pada saat-saat tertentu bisa menjadi “rumah biasa” bagi Presiden dan keluarganya. Bisa saja suatu ketika ada anak, keponakan atau cucu Presiden berlari-lari di dalam atau di halaman Istana. Inayah, putri bungsu Gus Dur, misalnya, pernah dikejar-kejar Paspampres ketika bersepeda di halaman Istana. Inayah disangka warga sekitar yang nyelonong ke Istana. Maklum, selama puluhan tahun memang tak ada anak-anak bersepeda di dalam Istana. Kebetulan juga sepeda yang dipakai Inayah sepeda biasa, seperti milik anak-anak di kampung sebelah.
Gus Dur sendiri, bila jam kerja sudah selesai, dan tak ada acara lagi di Istana Merdeka, segera berganti kostum. Biasanya kaus oblong dengan kombinasi sarung atau celana kolor biasa. Dengan pakaian begini, kalau tidak tiduran di kamar, Gus Dur duduk di ruang kerja mendengarkan audio book, wayang kulit, atau musik. Hendardi, ketika masih memimpin PBHI, pernah diterima Presiden di ruang kerjanya dengan hanya bercelana kolor dan kaus oblong. Karena penggiat HAM ini datang ke Istana pada hari libur, Minggu siang. Ketika ngobrol, Presiden duduk santai dengan satu kaki naik di atas kursi. Kayak di warung itu.
Pada Senin, 23 Juli 2001 itu, karena tidak ada acara, apalagi karena acara kepresidenan biasanya diselenggarakan di Istana Negara yang menghadap ke Jalan Juanda, Gus Dur seharian hanya mengenakan kostum yang biasa dipakai di rumah. Tapi pada Senin yang kelam dalam kehidupan ketatanegaraan kita itu, sejak pukul 16.53 Gus Dur sudah bukan Presiden RI lagi. Sebab di Senayan, MPR yang menyelenggarakan Sidang Istimewa sudah melantik Megawati sebagai penggantinya. Sementara para pendukung Gus Dur yang berkerumun depan Istana, hingga pukul 20.45 tak kunjung melihat dan mendengar kabar tokoh yang dipujanya.
Karena ada desakan via telepon selular dari beberapa tokoh yang berada di luar, agar Gus Dur menemui para pendukungnya, atau paling tidak sekedar melambaikan tangan dari beranda Istana, maka saya yang seharian menemani Gus Dur, menyampaikan kepada beliau. Gus Dur bersedia.
Tapi ketika saya tanya, apakah tidak sebaiknya ganti pakaian dulu, Gus Dur menolak sambil ketawa. “Biarin gini aja. Biasanya kan jam segini memang begini…,” kata Gus Dur. Jawaban yang sama juga disampaikan Gus Dur ketika Yenny menyampaikan hal yang sama.
Maka pada Senin, 23 Juli 2001 pukul 20.50 itu, Gus Dur mencul di beranda dengan kaus oblong dan celana (kolor) pendek itu. Banyak orang menafsirkan kostum ini dengan berbagai interprestasinya sendiri. Dan setelah Istana tak lama kemudian kebanjiran, ada yang mengaitkan penampilan Gus Dur dengan celana pendek itu sebagai isyarat…
Peristiwa itu memang terasa menyakitkan. Tapi bagi kaum nahdliyin dan para pendukung Gus Dur, hal yang paling menyakitkan adalah ketika Andi Malarangeng, ketika itu pengamat politik, menyerukan agar aparat menyeret Gus Dur keluar dari Istana bila tidak mengindahkan keputusan SI MPR dan tetap bertahan.
Sebelumnya, ketika warga Nahdliyin di Jawa Timur bergolak dan meminta MPR tidak menggelar Sidang Istimewa, bekas jubir Presiden Yudhoyono yang kini Menpora itu, menyebut Gus Dur sebagai Presiden Jawa Timur. rakyat merdeka. Riwayat Kolor Presiden Gus Dur.