Inilah hubungan antara Luna Maya, Dunia Maya, TWITTER dan UU ITE dalam perspektif hokum. Semoga semua pihak bijak dalam menggunakan hokum sebagai “senjata” terakhir penyelesaian masalah ya. Jangan ada the next Luna Maya atau Prita Mulyasari yang tersandung ITE Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Artis Luna Maya dilaporkan segenap wartawan infotainment yang dinaungi PWI Jaya ke polisi. Luna dilaporkan karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik di internet dengan delik aduan pasal 27 ayat 3 UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Luna dianggap pihak infotainment telah melakukan pencemaran nama baik. Di akun Twitternya, Luna menyebut infotainment derajatnya tidak lebih rendah dari pekerja seks komersil dan pembunuh.
Di sebuah akun, yang dianggap sebagai akun Luna Maya, ada kata-kata, "Infotemnt derajatnya lebh HINA dr pd PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!!...". Selain itu, di Tweet yang lain Luna juga menulis "Jadi bingung knp manusia skrng lbh kaya setan dibandingkan dengan setannya sendiri...apa yg disbt manusia udah jadi setan semua??".
Luna Maya yang Tersandung Dunia Maya
Kasus yang terjadi akibat penggunaan internet, khususnya soal pencemaran nama baik atau penghinaan, merupakan kasus ketiga yang mengemuka. Kasus yang terkait dengan penggunaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE sedang terjadi juga dengan Prita Mulyasari.
Email yang dikirimkan Prita ke beberapa teman dijadikan oleh RS Omni International sebagai penghinaan/pencemaran baik, sehingga kemudian kasus ini harus diselesaikan di meja hijau, meski substansi sesungguhnya adalah masalah perlindungan konsumen, dimana apakah Prita mendapatkan layanan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan sesuai UU No. 8/1999 tentang Perlindungan konsumen.
Meski kemudian sempat berdamai, kasus ini tetap jalan dan bahkan Prita dikenai kewajiban membayar denda Rp 204 juta. Ketidakadilan inilah yang kemudian menggerakkan rakyat untuk menyisihkan koin membantu Prita dengan apa yang disebut "Koin Keadilan".
Jika Prita merupakan orang biasa, tentu berbeda dengan Luna Maya. Jika kasus ini masuk pengadilan, berarti Luna merupakan artis pertama yang disangka melakukan penghinaan/pencemaran nama baik secara elektronik.
Tentu persoalan dan proses pembuktian menjadi tidak mudah mengingat Twitter merupakan microblogging yang memang bersifat menceritakan apa yang terjadi, dan ada follower (pengikut). Sehingga, ini tidak seperti situs pertemanan, melainkan laksana fans mengikuti apa yang dilakukan sang "artis", karenanya sang "artis" punya otoritas si fans boleh mengikutinya atau tidak.
Jika benar, di jagat maya Indonesia, bukan hanya Luna saja pesohor dan publik figur yang bermain Twitter. Ada juga menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang aktif meng-update apa yang dilakukannya melalui twitter.
Terkait dengan akun Luna Maya, ada beberapa akun yang membawa nama Luna. LunnaMaya, Lunmy dan Lunmay2. Tulisan yang dipersoalkan rekan-rekan infotainment adalah yang di "Lunmy". Mana akun Luna Maya yang asli, tentu bisa ditanya ke yang bersangkutan. Hanya saja, dimungkinkan juga jika penulis/pengisi akun Lunmy juga bukan Luna Maya sesungguhnya. Karena dengan anonymous, semua bisa mengaku siapa saja.
Anda juga bisa mengaku sebagai Luna Maya, dengan foto Luna Maya, yang dengan mudahnya didapat dari berbagai situs.
Menelaah Tiap Kata
Hal berikutnya, tentunya adalah masalah penghinaan/pencemaran nama baik. Dengan kata-kata seperti tertulis, apakah itu bisa diindikasikan sebagai penghinaan/pecemaran nama baik? Siapakah "Infotemnt" yang dimaksud dalam tweet tersebut?.
Selain itu, dalam menganalisis tulisan/kata-kata, faktor konteks juga tidak bisa dilepaskan dari teks. Sebab musabab inilah yang juga perlu digali. Mungkin saja, hak pribadi (privasi) yang dilindungi terlanggar, sementara mungkin tidak ada pihak yang bisa melindunginya sehingga ketakutan dan kekesalan hanya bisa ditumpahkan di akun pribadi.
Kalau marah, kesal, kemudian minta maaf melalui akun yang sama seperti apa? Sebab di akun yang sama, pada 16 Desember 2009, "Luna Maya" sendiri menulis: "Maaf yaa semua untuk twit yg gak penting itu,tp untuk yg mengerti makasih bgt,tp untuk yg gak ngerti jg maaf..." Ini yang perlu didalami satu per satu.
Karena microblogging, jejaring sosial, merupakan mainan yang baru bagi masyarakat, baiknya memang persoalan ketersinggungan akibat salah tulis, perlu ditoleransi dan mudah memaafkan. Apalagi dalam Twitter hanya ada 140 karakter, sehingga kesalahan tulis, singkatan, mungkin terjadi dan jangan terlalu dalam dimaknai.
Secara etik, jika ada tersinggung, si penulis bisa meminta maaf atau menghapus posting yang bermasalah tersebut. Seperti dalam jejaring sosial Facebook, jika ada komentar terhadap status kita yang tidak pas atau menyinggung, kita diberikan fasilitas menghapus komentar tersebut, yang jika tidak puas, bisa menghapus pengirim komentar dari daftar pertemanan kita.
Di Twitter, jika follower tidak suka dengan diikuti, ya dia bisa keluar sebagai pengikut. Sebab, semua status yang ditulis sesungguhnya dapat dikatakan tidak bersifat umum, melainkan hanya dapat dibaca oleh pengikut akun tersebut saja. Tapi memang pemberi komentar, pemilik akun twitter haruslah juga memperhatikan kata-kata yang ditulis sehingga semangat berbagai kebahagiaan maupun kesedihan, pengalaman, diskusi mengenai suatu hal maupun narsisme tidak malah menjadi bumerang.
Jika melihat hubungan antara antara dan infotainment, yang saling membutuhkan, tentu persoalan ini lebih gampang untuk diselesaikan di luar jalur hukum. apalagi sampai bawa-bawa UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Gunakanlah UU ITE secara bijak, dan merupakan langkah terakhir, jika memang proses menghapus komentar, memberhentikan dari daftar pertemanan maupun keluar dari daftar sebagai pengikut tidak bisa dilakukan. Termasuk tentunya perdamaian mengingat kita semua sedang belajar menikmati apa yang disebut dengan jejaring sosial. Langkah hukum bukan tidak bisa diambil, tapi jadikan ini merupakan pintu terakhir jika semua pintu sudah tertutup.
*) Penulis adalah Heru Sutadi, merupakan pengamat teknologi informasi dan jejaring sosial. detikinet.
Artis Luna Maya dilaporkan segenap wartawan infotainment yang dinaungi PWI Jaya ke polisi. Luna dilaporkan karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik di internet dengan delik aduan pasal 27 ayat 3 UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Luna dianggap pihak infotainment telah melakukan pencemaran nama baik. Di akun Twitternya, Luna menyebut infotainment derajatnya tidak lebih rendah dari pekerja seks komersil dan pembunuh.
Di sebuah akun, yang dianggap sebagai akun Luna Maya, ada kata-kata, "Infotemnt derajatnya lebh HINA dr pd PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!!...". Selain itu, di Tweet yang lain Luna juga menulis "Jadi bingung knp manusia skrng lbh kaya setan dibandingkan dengan setannya sendiri...apa yg disbt manusia udah jadi setan semua??".
Luna Maya yang Tersandung Dunia Maya
Kasus yang terjadi akibat penggunaan internet, khususnya soal pencemaran nama baik atau penghinaan, merupakan kasus ketiga yang mengemuka. Kasus yang terkait dengan penggunaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE sedang terjadi juga dengan Prita Mulyasari.
Email yang dikirimkan Prita ke beberapa teman dijadikan oleh RS Omni International sebagai penghinaan/pencemaran baik, sehingga kemudian kasus ini harus diselesaikan di meja hijau, meski substansi sesungguhnya adalah masalah perlindungan konsumen, dimana apakah Prita mendapatkan layanan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan sesuai UU No. 8/1999 tentang Perlindungan konsumen.
Meski kemudian sempat berdamai, kasus ini tetap jalan dan bahkan Prita dikenai kewajiban membayar denda Rp 204 juta. Ketidakadilan inilah yang kemudian menggerakkan rakyat untuk menyisihkan koin membantu Prita dengan apa yang disebut "Koin Keadilan".
Jika Prita merupakan orang biasa, tentu berbeda dengan Luna Maya. Jika kasus ini masuk pengadilan, berarti Luna merupakan artis pertama yang disangka melakukan penghinaan/pencemaran nama baik secara elektronik.
Tentu persoalan dan proses pembuktian menjadi tidak mudah mengingat Twitter merupakan microblogging yang memang bersifat menceritakan apa yang terjadi, dan ada follower (pengikut). Sehingga, ini tidak seperti situs pertemanan, melainkan laksana fans mengikuti apa yang dilakukan sang "artis", karenanya sang "artis" punya otoritas si fans boleh mengikutinya atau tidak.
Jika benar, di jagat maya Indonesia, bukan hanya Luna saja pesohor dan publik figur yang bermain Twitter. Ada juga menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang aktif meng-update apa yang dilakukannya melalui twitter.
Terkait dengan akun Luna Maya, ada beberapa akun yang membawa nama Luna. LunnaMaya, Lunmy dan Lunmay2. Tulisan yang dipersoalkan rekan-rekan infotainment adalah yang di "Lunmy". Mana akun Luna Maya yang asli, tentu bisa ditanya ke yang bersangkutan. Hanya saja, dimungkinkan juga jika penulis/pengisi akun Lunmy juga bukan Luna Maya sesungguhnya. Karena dengan anonymous, semua bisa mengaku siapa saja.
Anda juga bisa mengaku sebagai Luna Maya, dengan foto Luna Maya, yang dengan mudahnya didapat dari berbagai situs.
Menelaah Tiap Kata
Hal berikutnya, tentunya adalah masalah penghinaan/pencemaran nama baik. Dengan kata-kata seperti tertulis, apakah itu bisa diindikasikan sebagai penghinaan/pecemaran nama baik? Siapakah "Infotemnt" yang dimaksud dalam tweet tersebut?.
Selain itu, dalam menganalisis tulisan/kata-kata, faktor konteks juga tidak bisa dilepaskan dari teks. Sebab musabab inilah yang juga perlu digali. Mungkin saja, hak pribadi (privasi) yang dilindungi terlanggar, sementara mungkin tidak ada pihak yang bisa melindunginya sehingga ketakutan dan kekesalan hanya bisa ditumpahkan di akun pribadi.
Kalau marah, kesal, kemudian minta maaf melalui akun yang sama seperti apa? Sebab di akun yang sama, pada 16 Desember 2009, "Luna Maya" sendiri menulis: "Maaf yaa semua untuk twit yg gak penting itu,tp untuk yg mengerti makasih bgt,tp untuk yg gak ngerti jg maaf..." Ini yang perlu didalami satu per satu.
Karena microblogging, jejaring sosial, merupakan mainan yang baru bagi masyarakat, baiknya memang persoalan ketersinggungan akibat salah tulis, perlu ditoleransi dan mudah memaafkan. Apalagi dalam Twitter hanya ada 140 karakter, sehingga kesalahan tulis, singkatan, mungkin terjadi dan jangan terlalu dalam dimaknai.
Secara etik, jika ada tersinggung, si penulis bisa meminta maaf atau menghapus posting yang bermasalah tersebut. Seperti dalam jejaring sosial Facebook, jika ada komentar terhadap status kita yang tidak pas atau menyinggung, kita diberikan fasilitas menghapus komentar tersebut, yang jika tidak puas, bisa menghapus pengirim komentar dari daftar pertemanan kita.
Di Twitter, jika follower tidak suka dengan diikuti, ya dia bisa keluar sebagai pengikut. Sebab, semua status yang ditulis sesungguhnya dapat dikatakan tidak bersifat umum, melainkan hanya dapat dibaca oleh pengikut akun tersebut saja. Tapi memang pemberi komentar, pemilik akun twitter haruslah juga memperhatikan kata-kata yang ditulis sehingga semangat berbagai kebahagiaan maupun kesedihan, pengalaman, diskusi mengenai suatu hal maupun narsisme tidak malah menjadi bumerang.
Jika melihat hubungan antara antara dan infotainment, yang saling membutuhkan, tentu persoalan ini lebih gampang untuk diselesaikan di luar jalur hukum. apalagi sampai bawa-bawa UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
Gunakanlah UU ITE secara bijak, dan merupakan langkah terakhir, jika memang proses menghapus komentar, memberhentikan dari daftar pertemanan maupun keluar dari daftar sebagai pengikut tidak bisa dilakukan. Termasuk tentunya perdamaian mengingat kita semua sedang belajar menikmati apa yang disebut dengan jejaring sosial. Langkah hukum bukan tidak bisa diambil, tapi jadikan ini merupakan pintu terakhir jika semua pintu sudah tertutup.
*) Penulis adalah Heru Sutadi, merupakan pengamat teknologi informasi dan jejaring sosial. detikinet.