Selamat Hari IBU! Potret Perjuangan Seorang Ibu Tanpa Kenal Lelah
Hari Ibu biasa diperingati untuk mengenang jasa seorang wanita yang telah berjuang melahirkan dan mendidik anaknya. Ibu adalah pribadi yang sangat mulia bahkan ada pepatah yang mengatakan “Surga ada di telapak kaki ibu”.
Hal ini mungkin benar adanya karena tidak sedikit ibu juga bekerja banting tulang untuk mendapatkan nafka demi keluarganya khususnya anak.
Ibu Ida, wanita 36 tahun ini sudah berumah tangga 20 tahun dan mempunyai 6 anak. Suaminya bekerja sebagai pemulung di daerah Cipinang Pulo karena penghasilan suami yang sehari hanya mencapai Rp30 ribu itu, mendorong Ida bekerja dengan menjual sendok. Sendok bekas dibeli dari pemulung dengan harga Rp 4 ribu per lusin. Sendok-sendok itu ia cuci sampai bersih dan dijual kembali hingga mendapat keuntungan Rp2000- Rp3000 per lusin.
Sudah 10 tahun wanita ini berkeliling daerah Cipinang Muara, Klender, sampai Duren Sawit sambil membawa putri bungsunya yang masih berumur 2 tahun dari pukul 09.00 hingga 15.00 WIB. Dalam sepekan hasil dagangan yang laku hanya 20 lusin dengan keuntungan Rp50. ribu.
Meski lelah dan keuntungannya tak seberapa, hal ini dilakukan Ida demi membiayai ke 6 anaknya yang masih kecil–kecil. “Ya kalau engak kaya gini mana cukup makan. Anak sekolah dan jajan anak–anak semua sehari bisa Rp10 ribu,“ ujarnya.
Ibu ini berharap anak keduanya yang sekarang di bangku SMP bisa lanjut sekolah sampai SMK. Anak pertamanya hanya tamatan SMP karena tak cukup biaya dan kurang pintar. Dan sekarang hanya menjadi seorang pemulung. “Dari dulu apa aja dilakuin untuk anak dari dagang dan buat kue. Tapi kaya gini- gini aja usaha enggak maju–maju tetep miskin makanya berharap nanti dari anak bisa kerja yang bagus,” harapnya sambil menyusui anak bungsunya.
Sama dengan Ibu Ida yang bekerja dengan berjalan keliling, Ibu Cakria juga mencari sampah berkeliling dengan gerobaknya untuk menafkahi keluarganya dari pagi hingga menjelang sore. Istri yang satu ini rela banting tulang selama 10 tahun tanpa mengeluh kepada suaminya yang malas, karena hanya bekerja memulung sampai siang. “Suami juga mulung tapi cuma ampe jam 11-12, paling cuma dapet Rp 10 ribu. Enggak cukup jadi saya mulung juga dari pada bengong juga di rumah,” ujarnya dengan tulus.
Ibu 45 tahun ini bahkan pernah sakit tifus dan hanya bisa berbaring selama sebulan di rumah karena kelelahan mencari sampah. “Kemarin saya juga sakit enggak nyari dari Sabtu, hari ini udah sembuh mau nyari tapi hujan deres. Kalau cuma gerimis sih saya akan tetap nyari,” ujarnya. okezone
Kegigihannya ibu tiga orang anak ini dalam bekerja tidak lain juga untuk membiayai ke dua anaknya yang masih sekolah.
Hari Ibu biasa diperingati untuk mengenang jasa seorang wanita yang telah berjuang melahirkan dan mendidik anaknya. Ibu adalah pribadi yang sangat mulia bahkan ada pepatah yang mengatakan “Surga ada di telapak kaki ibu”.
Hal ini mungkin benar adanya karena tidak sedikit ibu juga bekerja banting tulang untuk mendapatkan nafka demi keluarganya khususnya anak.
Ibu Ida, wanita 36 tahun ini sudah berumah tangga 20 tahun dan mempunyai 6 anak. Suaminya bekerja sebagai pemulung di daerah Cipinang Pulo karena penghasilan suami yang sehari hanya mencapai Rp30 ribu itu, mendorong Ida bekerja dengan menjual sendok. Sendok bekas dibeli dari pemulung dengan harga Rp 4 ribu per lusin. Sendok-sendok itu ia cuci sampai bersih dan dijual kembali hingga mendapat keuntungan Rp2000- Rp3000 per lusin.
Sudah 10 tahun wanita ini berkeliling daerah Cipinang Muara, Klender, sampai Duren Sawit sambil membawa putri bungsunya yang masih berumur 2 tahun dari pukul 09.00 hingga 15.00 WIB. Dalam sepekan hasil dagangan yang laku hanya 20 lusin dengan keuntungan Rp50. ribu.
Meski lelah dan keuntungannya tak seberapa, hal ini dilakukan Ida demi membiayai ke 6 anaknya yang masih kecil–kecil. “Ya kalau engak kaya gini mana cukup makan. Anak sekolah dan jajan anak–anak semua sehari bisa Rp10 ribu,“ ujarnya.
Ibu ini berharap anak keduanya yang sekarang di bangku SMP bisa lanjut sekolah sampai SMK. Anak pertamanya hanya tamatan SMP karena tak cukup biaya dan kurang pintar. Dan sekarang hanya menjadi seorang pemulung. “Dari dulu apa aja dilakuin untuk anak dari dagang dan buat kue. Tapi kaya gini- gini aja usaha enggak maju–maju tetep miskin makanya berharap nanti dari anak bisa kerja yang bagus,” harapnya sambil menyusui anak bungsunya.
Sama dengan Ibu Ida yang bekerja dengan berjalan keliling, Ibu Cakria juga mencari sampah berkeliling dengan gerobaknya untuk menafkahi keluarganya dari pagi hingga menjelang sore. Istri yang satu ini rela banting tulang selama 10 tahun tanpa mengeluh kepada suaminya yang malas, karena hanya bekerja memulung sampai siang. “Suami juga mulung tapi cuma ampe jam 11-12, paling cuma dapet Rp 10 ribu. Enggak cukup jadi saya mulung juga dari pada bengong juga di rumah,” ujarnya dengan tulus.
Ibu 45 tahun ini bahkan pernah sakit tifus dan hanya bisa berbaring selama sebulan di rumah karena kelelahan mencari sampah. “Kemarin saya juga sakit enggak nyari dari Sabtu, hari ini udah sembuh mau nyari tapi hujan deres. Kalau cuma gerimis sih saya akan tetap nyari,” ujarnya. okezone
Kegigihannya ibu tiga orang anak ini dalam bekerja tidak lain juga untuk membiayai ke dua anaknya yang masih sekolah.