Kupas tuntas sejarah istilah cicak KPK buaya POLRI dongeng legenda politik ysng lebih top dibanding kancil vs buaya!
DONGENG buaya versus cicak, salah satu cerita besar dalam dunia politik dan hukum bangsa ini sepanjang 2009. Bagaimana tidak, sejak awal kemunculan istilah cicak dan buaya, sekira pertengahan 2009, setiap pergerakan keduanya menjadi sorotan publik.
Sebenarnya apa salah cicak dan buaya sampai-sampai mereka saling bermusuhan dan saling serang?
Sebelum merunut hal ihwal konflik cicak dan buaya, ada baiknya kita runut dahulu dari mana lahirnya istilah cicak yang dianalogikan sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan buaya analogi dari Kepolisian RI (Polri).
Menilik Dongeng Cicak Lawan Buaya
Istilah ini berawal dari ucapan Komjen Pol Susno Duadji saat menjabat sebagai Kabareskrim Mabes Polri. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu media nasional, Susno menanggapi kabar penyadapan yang dilakukan KPK atas dugaan keterlibatan dirinya dalam skandal Bank Century.
Susno mengatakan, tidak marah atas tindakan KPK itu, tapi hanya menyesal tindakan KPK yang dianggap sebagai cicak tapi kok melawan buaya (Polri). Hal ini dianggap tindakan bodoh.
"Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa."
Munculnya isu penyadapan ini, berdekatan dengan penetapan status tersangka pada dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah oleh Polri. Keduanya dituduh telah menyalahgunakan wewenang karena menerbitkan dan mencabut surat cekal terhadap dua tersangka korupsi yang ditangani KPK, Anggodo Widjojo dan Djoko Tjandra.
Praktis saja publik menilai tindakan Polri ini merupakan tindakan "balas dendam", hingga memunculkan istilah cicak versus buaya. Di sinilah perseteruan dimulai dan berlangsung sampai sekarang.
Singkat cerita, setelah ditetapkan tersangka, Bibit dan Chandra pun resmi ditahan polisi pada 29 Oktober lalu. "Mulai hari ini tim penyidik dari kepolisian Mabes Polri akan menggunakan hak kami untuk menahan Bibit dan Chandra," kata Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Irjen Pol Dikdik Mulyana Arif Mansur dalam jumpa pers Kamis 29 Oktober silam.
Selang dua hari kemudian, Bibit dan Chandra dibawa ke rumah tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Hal ini tentunya semakin menyulut kemarahan sebagian besar masyarakat sipil. Aksi demonstrasi yang menuding Polri semena-mena semakin hari semakin marak. Ini terjadi di hampir semua provinsi di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun didesak untuk campur tangan menyelesaikan hal ini.
Desakan itu pun menuai reaksi SBY. Pada 2 Desember SBY langsung memerintahkan dibentuknya Tim Pencari Fakta atau belakangan, dikenal dengan nama Tim 8. Tugasnya, memverifikasi fakta kasus Bibit-Chandra.
Mereka adalah Ketua Adnan Buyung Nasution, Wakil Ketua Koesparmono Irsan, Sekretaris Denny Indrayana, dan anggota Anies Baswedan, Hikmahanto Juwono, Komaruddin Hidayat, Todung Mulya Lubis, dan Amir Syamsuddin.
Tim 8 diberi waktu dua pekan untuk bekerja dan telah melaporkan hasil kerjanya ke SBY pada 17 November 2009.
Tak mau buang-buang waktu, baru sehari bekerja Tim 8 langsung membaca keinginan utama masyarakat yaitu mengeluarkan Bibit-Chandra dari rutan Brimob. Tim 8 pun mengajukan penangguhan penahanan. Beruntung permintaan ini dikabulkan. Pada 3 November 2009, Bibit-Chandra pun keluar dari rutan.
Sebelumnya, pada siang hari Tim 8 mengikuti sidang uji materiil UU KPK yang diajukan Bibit-Chandra di Mahkamah Konstitusi. Tahap berikutnya, Tim 8 memanggil sejumlah pihak untuk memverifikasi fakta kasus Bibit-Chandra. Mulai dari KPK, Kejagung hingga Polri di mana Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Susno Duadji sendiri yang memenuhi panggilan tersebut.
Dua pekan berjalan, Tim 8 pun tiba pada dateline-nya untuk menyerahkan hasil verifikasi guna menentukan kelanjutan hukum Bibit-Chandra. Pada Selasa 17 November, Ketua Tim 8 Adnan Buyung menyerahkan langsung rekomendasi Tim 8 ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu baru pulang ke Tanah Air setelah menghadiri pertemuan negara-negara APEC di Singapura.
Presiden membutuhkan waktu sepekan untuk merespons rekomendasi itu. Sepekan berlalu, tibalah saat yang dinanti-nantikan di mana Presiden membacakan keputusannya.
Salah satu poin penting dalam keputusan Presiden yaitu dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus Bibit-Chandra. Artinya, keduanya dinyatakan bebas secara resmi dan berhak kembali menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.
Sementara di tubuh Polri, pascapembebasan Bibit-Chandra, tengah mendapat guncangan dari publik. Desakan agar Susno Duadji mundur sebagai Kabareskrim Mabes Polri, setelah dinonaktifkan selama proses pemeriksaan oleh Tim 8, semakin besar.
Belum lagi nama Susno ikut terseret dalam rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat di Kejagung dan Polri yang diputar di MK.
Tepat pada Selasa 24 November, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri resmi mencopot jabatan anak buahnya itu dan mengganti dengan Irjen Pol Ito Sumardi Djunisanyoto.
Satu per satu permintaan publik telah terpenuhi. Lalu selesaikah konflik cicak versus buaya sampai di sini?
Sepertinya belum. Sebab, belakangan SKPP Bibit-Chandra yang awalnya bagaikan setetes air di gurun pasir tak lama kemudian diprotes sejumlah pengacara. Mereka beserta LSM memprotes keputusan menerbitkan SKPP.
Sidang perdana praperadilan SKPP ini telah berlangsung sejak pekan lalu, tepatnya Senin 14 Desember. Belum lagi, penyelesaian kasus Century yang dialihkan ke KPK, khusus urusan pidana suap maupun korupsinya. Nama Susno Duadji pun diduga menjadi salah satu yang diperiksa KPK.
Bagaimana kelanjutan "perseteruan" ini. Kita tunggu saja apa yang terjadi di 2010 mendatang. Terus ikuti lembaran demi lembaran dongeng cicak melawan buaya ini, siapa tahu cicak akan menjadi teman sejati buaya. Siapa yang tahu? okezone.
DONGENG buaya versus cicak, salah satu cerita besar dalam dunia politik dan hukum bangsa ini sepanjang 2009. Bagaimana tidak, sejak awal kemunculan istilah cicak dan buaya, sekira pertengahan 2009, setiap pergerakan keduanya menjadi sorotan publik.
Sebenarnya apa salah cicak dan buaya sampai-sampai mereka saling bermusuhan dan saling serang?
Sebelum merunut hal ihwal konflik cicak dan buaya, ada baiknya kita runut dahulu dari mana lahirnya istilah cicak yang dianalogikan sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan buaya analogi dari Kepolisian RI (Polri).
Menilik Dongeng Cicak Lawan Buaya
Istilah ini berawal dari ucapan Komjen Pol Susno Duadji saat menjabat sebagai Kabareskrim Mabes Polri. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu media nasional, Susno menanggapi kabar penyadapan yang dilakukan KPK atas dugaan keterlibatan dirinya dalam skandal Bank Century.
Susno mengatakan, tidak marah atas tindakan KPK itu, tapi hanya menyesal tindakan KPK yang dianggap sebagai cicak tapi kok melawan buaya (Polri). Hal ini dianggap tindakan bodoh.
"Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa."
Munculnya isu penyadapan ini, berdekatan dengan penetapan status tersangka pada dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah oleh Polri. Keduanya dituduh telah menyalahgunakan wewenang karena menerbitkan dan mencabut surat cekal terhadap dua tersangka korupsi yang ditangani KPK, Anggodo Widjojo dan Djoko Tjandra.
Praktis saja publik menilai tindakan Polri ini merupakan tindakan "balas dendam", hingga memunculkan istilah cicak versus buaya. Di sinilah perseteruan dimulai dan berlangsung sampai sekarang.
Singkat cerita, setelah ditetapkan tersangka, Bibit dan Chandra pun resmi ditahan polisi pada 29 Oktober lalu. "Mulai hari ini tim penyidik dari kepolisian Mabes Polri akan menggunakan hak kami untuk menahan Bibit dan Chandra," kata Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Irjen Pol Dikdik Mulyana Arif Mansur dalam jumpa pers Kamis 29 Oktober silam.
Selang dua hari kemudian, Bibit dan Chandra dibawa ke rumah tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Hal ini tentunya semakin menyulut kemarahan sebagian besar masyarakat sipil. Aksi demonstrasi yang menuding Polri semena-mena semakin hari semakin marak. Ini terjadi di hampir semua provinsi di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun didesak untuk campur tangan menyelesaikan hal ini.
Desakan itu pun menuai reaksi SBY. Pada 2 Desember SBY langsung memerintahkan dibentuknya Tim Pencari Fakta atau belakangan, dikenal dengan nama Tim 8. Tugasnya, memverifikasi fakta kasus Bibit-Chandra.
Mereka adalah Ketua Adnan Buyung Nasution, Wakil Ketua Koesparmono Irsan, Sekretaris Denny Indrayana, dan anggota Anies Baswedan, Hikmahanto Juwono, Komaruddin Hidayat, Todung Mulya Lubis, dan Amir Syamsuddin.
Tim 8 diberi waktu dua pekan untuk bekerja dan telah melaporkan hasil kerjanya ke SBY pada 17 November 2009.
Tak mau buang-buang waktu, baru sehari bekerja Tim 8 langsung membaca keinginan utama masyarakat yaitu mengeluarkan Bibit-Chandra dari rutan Brimob. Tim 8 pun mengajukan penangguhan penahanan. Beruntung permintaan ini dikabulkan. Pada 3 November 2009, Bibit-Chandra pun keluar dari rutan.
Sebelumnya, pada siang hari Tim 8 mengikuti sidang uji materiil UU KPK yang diajukan Bibit-Chandra di Mahkamah Konstitusi. Tahap berikutnya, Tim 8 memanggil sejumlah pihak untuk memverifikasi fakta kasus Bibit-Chandra. Mulai dari KPK, Kejagung hingga Polri di mana Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Susno Duadji sendiri yang memenuhi panggilan tersebut.
Dua pekan berjalan, Tim 8 pun tiba pada dateline-nya untuk menyerahkan hasil verifikasi guna menentukan kelanjutan hukum Bibit-Chandra. Pada Selasa 17 November, Ketua Tim 8 Adnan Buyung menyerahkan langsung rekomendasi Tim 8 ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu baru pulang ke Tanah Air setelah menghadiri pertemuan negara-negara APEC di Singapura.
Presiden membutuhkan waktu sepekan untuk merespons rekomendasi itu. Sepekan berlalu, tibalah saat yang dinanti-nantikan di mana Presiden membacakan keputusannya.
Salah satu poin penting dalam keputusan Presiden yaitu dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus Bibit-Chandra. Artinya, keduanya dinyatakan bebas secara resmi dan berhak kembali menjabat sebagai Wakil Ketua KPK.
Sementara di tubuh Polri, pascapembebasan Bibit-Chandra, tengah mendapat guncangan dari publik. Desakan agar Susno Duadji mundur sebagai Kabareskrim Mabes Polri, setelah dinonaktifkan selama proses pemeriksaan oleh Tim 8, semakin besar.
Belum lagi nama Susno ikut terseret dalam rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo dengan sejumlah pejabat di Kejagung dan Polri yang diputar di MK.
Tepat pada Selasa 24 November, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri resmi mencopot jabatan anak buahnya itu dan mengganti dengan Irjen Pol Ito Sumardi Djunisanyoto.
Satu per satu permintaan publik telah terpenuhi. Lalu selesaikah konflik cicak versus buaya sampai di sini?
Sepertinya belum. Sebab, belakangan SKPP Bibit-Chandra yang awalnya bagaikan setetes air di gurun pasir tak lama kemudian diprotes sejumlah pengacara. Mereka beserta LSM memprotes keputusan menerbitkan SKPP.
Sidang perdana praperadilan SKPP ini telah berlangsung sejak pekan lalu, tepatnya Senin 14 Desember. Belum lagi, penyelesaian kasus Century yang dialihkan ke KPK, khusus urusan pidana suap maupun korupsinya. Nama Susno Duadji pun diduga menjadi salah satu yang diperiksa KPK.
Bagaimana kelanjutan "perseteruan" ini. Kita tunggu saja apa yang terjadi di 2010 mendatang. Terus ikuti lembaran demi lembaran dongeng cicak melawan buaya ini, siapa tahu cicak akan menjadi teman sejati buaya. Siapa yang tahu? okezone.