Ternyata begiu banyak macam atau tipe serangan teror di Indonesia.dan yang sangat luar biasanya bukan dilakukan oleh Noordin M. TOP saja!
Sebagaimana kita ketahui bersama, belum lama ini Jakarta mengalami teror serangan bom di kawasan Mega Kuningan untuk kedua kalinya.
Ledakan bom yang menewaskan begitu banyak nyawa manusia itu bagaikan menjadi agenda rutin teroris profesional Nurdin Top yang mencoba menghancurkan keamanan nasional dengan mencari momen yang tepat dalam melakukan aksi mortirnya.
Namun demikian, ternyata di kawasan Indonesia lainnya terdapat suatu wilayah yang juga mengalami serangan teror namun tetap bertahan hingga kini.
Untuk diketahui, serangan tersebut tidaklah seperti bom kuningan yang berselang 6 tahun terjadinya. Tipe serangan teror yang satu ini berlangsung setiap hari 1x24 jam 365 hari dalam setahun tanpa henti! Sangat luar biasa kalau sampai warganya dapat tetap bertahan! Benar-benar aneh unik bin ajaib!
Benarkah Noordin M TOp tidak terlibat atau mendalangi aksi serangan teror tersebut? Baca selengkapnya "kisah perjuangan" berikut ini.
Bertahan oleh Teror Lumpur
Air sumur itu bau, menyengat. Airnya berbuih, seperti mendidih. Tapi para santri masih memanfaatkan untuk mandi dan mencuci. Rasanya gatal. Di kulit terasa licin dan meninggalkan bau tak sedap. Tapi, air rembesan Lumpur Lapindo itu tetap digunakan.
"Begini sehari-hari airnya. Kalau untuk minum ya beli," terang Muhammad Mujiburrohman, pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Mustaqim, Siring Wetan, Sidoarjo.
Pondok yang dulu ramai didatangi murid dari belahan kabupaten lain, Kediri, Pati, Malang, dan Jember. Pusat mendaras Qur'an, dengan metode Qiroati ini, juga memiliki ratusan santri kanak-kanak.
Tapi, kerja dakwah yang dirintis sejak 17 tahun itu, lenyap. Semburan Lumpur Lapindo, menimbun area pondok bersama ribuan rumah lain. Tak ada yang tersisa dari kejayaan pondok. Tak lagi terdengar, riuh anak-anak santri yang bermain sebelum ngaji dimulai. Semua berlalu amat cepat. Warga Siring yang ada di lingkungan pondok, seluruhnya mengungsi. Awalnya, mereka menempati Pasar Baru Porong. Kini mereka telah pindah dari pasar setelah mendapatkan dana kontrak.
Pengasuh dan penghuni pondok, akhirnya tercerai berai. Sebagian besar santri dari luar daerah, juga pulang ke kampung halamannya. Tapi, Mujiburrohman bergeming. Lumpur boleh merampas seluruhnya. Tapi dakwah dan eksistensi pondok, harus tetap tegak. Ditemani santrinya yang bertahan, sosok yang biasa disapa Kyai Muji itu, membuka pesantren di pengungsian Pasar Baru Porong.
"Mereka, tidak boleh jauh dari agama. Apalagi dalam musibah seperti ini," tandas Kyai Muji.
Saat malam merambat, ia kerap berjalan mengitari tanggul. Jika bertemu kelompok orang yang sedang mabuk di atas tanggul, ia berhenti. Nasehat kehidupan diberikan, tanpa menggurui. Sebagian sadar dan kembali ke keluarganya. Tapi, ada pula yang tak berubah, Kyai Muji tak menyerah.
"Musibah tak selesai diratapi dengan mabuk," wasiatnya.
Setelah warga Siring Wetan menerima dana kontrak rumah dari Lapindo, Kyai Muji memutuskan bertahan. Tapi tidak di area Pasar Baru Porong lagi. Pondok, pindah ke kontrakan rumah di Beringin, Pamotan. Jarak dari tanggul lumpur, sekitar 500 meter. Di dalam rumah yang bangunannya tua itu, disekat menjadi beberapa bilik pembatas untuk para santri. Lebih dari 150 anak mengaji, di rumah yang jadi simbol eksistensi pondok.
Setelah pindah ke Beringin, satu persatu santri dari luar daerah memutuskan mundur. Mereka tak mampu bertahan, dengan fasilitas pondok yang memprihatinkan. Fasilitas air bau dan beracun, tempat tinggal tak layak, dan makan sehari-hari yang serba kekurangan. Tiap saat, mereka dan warga lainnya di area itu dalam jangkauan bahaya lumpur.
Orang luar bisa pergi ke tempat mereka berasal. Tapi, Kyai Muji tak mungkin pergi. Baginya, peradaban di Porong boleh dimusnahkan lumpur, tapi aqidah dan kejayaan Islam tak boleh padam. Ratusan anak-anak yang mendaras Quran di pondok itu, tunas suci yang tak tahu nasibnya kelak. Apakah mereka juga akan terampas masa depannya oleh lumpur yang terus menyembur itu.
Pekan lalu, dapur pondok Kyai Muji perlahan redup ngebul. Sementara, sembilan santri yang bertahan, tetap perlu makan. Padahal, ia tak punya usaha seperti saat kejayaan Pondok di Siring Wetan dulu. Kini, ia tengah mencari dukungan untuk membuka kios kecil-kecilan. Biayanya tak lebih dari Rp 15 juta. Ia berencana mengawali lagi berdagang sembako dan kebutuhan sehari-hari. Karena dari usaha kecil itulah, operasional pondok dulu didanai.
"Saya mau buka warung lagi kalau ada modal. Bantuan yang ini saya terima, semoga berkah," Kyai Muji sumringah. Siang itu, Al-Azhar Peduli Ummat, menyampaikan bantuan untuk keperluan pondok. (Detik.com)
Sebagaimana kita ketahui bersama, belum lama ini Jakarta mengalami teror serangan bom di kawasan Mega Kuningan untuk kedua kalinya.
Ledakan bom yang menewaskan begitu banyak nyawa manusia itu bagaikan menjadi agenda rutin teroris profesional Nurdin Top yang mencoba menghancurkan keamanan nasional dengan mencari momen yang tepat dalam melakukan aksi mortirnya.
Namun demikian, ternyata di kawasan Indonesia lainnya terdapat suatu wilayah yang juga mengalami serangan teror namun tetap bertahan hingga kini.
Untuk diketahui, serangan tersebut tidaklah seperti bom kuningan yang berselang 6 tahun terjadinya. Tipe serangan teror yang satu ini berlangsung setiap hari 1x24 jam 365 hari dalam setahun tanpa henti! Sangat luar biasa kalau sampai warganya dapat tetap bertahan! Benar-benar aneh unik bin ajaib!
Benarkah Noordin M TOp tidak terlibat atau mendalangi aksi serangan teror tersebut? Baca selengkapnya "kisah perjuangan" berikut ini.
Bertahan oleh Teror Lumpur
Air sumur itu bau, menyengat. Airnya berbuih, seperti mendidih. Tapi para santri masih memanfaatkan untuk mandi dan mencuci. Rasanya gatal. Di kulit terasa licin dan meninggalkan bau tak sedap. Tapi, air rembesan Lumpur Lapindo itu tetap digunakan.
"Begini sehari-hari airnya. Kalau untuk minum ya beli," terang Muhammad Mujiburrohman, pengasuh Pondok Pesantren Roudlotul Mustaqim, Siring Wetan, Sidoarjo.
Pondok yang dulu ramai didatangi murid dari belahan kabupaten lain, Kediri, Pati, Malang, dan Jember. Pusat mendaras Qur'an, dengan metode Qiroati ini, juga memiliki ratusan santri kanak-kanak.
Tapi, kerja dakwah yang dirintis sejak 17 tahun itu, lenyap. Semburan Lumpur Lapindo, menimbun area pondok bersama ribuan rumah lain. Tak ada yang tersisa dari kejayaan pondok. Tak lagi terdengar, riuh anak-anak santri yang bermain sebelum ngaji dimulai. Semua berlalu amat cepat. Warga Siring yang ada di lingkungan pondok, seluruhnya mengungsi. Awalnya, mereka menempati Pasar Baru Porong. Kini mereka telah pindah dari pasar setelah mendapatkan dana kontrak.
Pengasuh dan penghuni pondok, akhirnya tercerai berai. Sebagian besar santri dari luar daerah, juga pulang ke kampung halamannya. Tapi, Mujiburrohman bergeming. Lumpur boleh merampas seluruhnya. Tapi dakwah dan eksistensi pondok, harus tetap tegak. Ditemani santrinya yang bertahan, sosok yang biasa disapa Kyai Muji itu, membuka pesantren di pengungsian Pasar Baru Porong.
"Mereka, tidak boleh jauh dari agama. Apalagi dalam musibah seperti ini," tandas Kyai Muji.
Saat malam merambat, ia kerap berjalan mengitari tanggul. Jika bertemu kelompok orang yang sedang mabuk di atas tanggul, ia berhenti. Nasehat kehidupan diberikan, tanpa menggurui. Sebagian sadar dan kembali ke keluarganya. Tapi, ada pula yang tak berubah, Kyai Muji tak menyerah.
"Musibah tak selesai diratapi dengan mabuk," wasiatnya.
Setelah warga Siring Wetan menerima dana kontrak rumah dari Lapindo, Kyai Muji memutuskan bertahan. Tapi tidak di area Pasar Baru Porong lagi. Pondok, pindah ke kontrakan rumah di Beringin, Pamotan. Jarak dari tanggul lumpur, sekitar 500 meter. Di dalam rumah yang bangunannya tua itu, disekat menjadi beberapa bilik pembatas untuk para santri. Lebih dari 150 anak mengaji, di rumah yang jadi simbol eksistensi pondok.
Setelah pindah ke Beringin, satu persatu santri dari luar daerah memutuskan mundur. Mereka tak mampu bertahan, dengan fasilitas pondok yang memprihatinkan. Fasilitas air bau dan beracun, tempat tinggal tak layak, dan makan sehari-hari yang serba kekurangan. Tiap saat, mereka dan warga lainnya di area itu dalam jangkauan bahaya lumpur.
Orang luar bisa pergi ke tempat mereka berasal. Tapi, Kyai Muji tak mungkin pergi. Baginya, peradaban di Porong boleh dimusnahkan lumpur, tapi aqidah dan kejayaan Islam tak boleh padam. Ratusan anak-anak yang mendaras Quran di pondok itu, tunas suci yang tak tahu nasibnya kelak. Apakah mereka juga akan terampas masa depannya oleh lumpur yang terus menyembur itu.
Pekan lalu, dapur pondok Kyai Muji perlahan redup ngebul. Sementara, sembilan santri yang bertahan, tetap perlu makan. Padahal, ia tak punya usaha seperti saat kejayaan Pondok di Siring Wetan dulu. Kini, ia tengah mencari dukungan untuk membuka kios kecil-kecilan. Biayanya tak lebih dari Rp 15 juta. Ia berencana mengawali lagi berdagang sembako dan kebutuhan sehari-hari. Karena dari usaha kecil itulah, operasional pondok dulu didanai.
"Saya mau buka warung lagi kalau ada modal. Bantuan yang ini saya terima, semoga berkah," Kyai Muji sumringah. Siang itu, Al-Azhar Peduli Ummat, menyampaikan bantuan untuk keperluan pondok. (Detik.com)