Peristiwa Tragedi G30-S PKI Bagian Dari Sejarah Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober. Kontroversi seputar sejarah G 30-S/PKI aksi Partai Komunis Indonesia memang terus berlanjut. Rencananya Presiden SBY menjadi inspektur Upacara Perignatan Hari Kesaktian Pancasila di lubang buaya. Sebelumnya sudah saya posting artikel sejarah Hari Kesaktian Pancasila Gerkana 30 September PKI G30S/PKI.
PERSOALAN G 30 S kembali hangat diperbincangkan sejak bergulirnya reformasi. Banyak orang mulai meragukan kebenaran peristiwa sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah atau dalam film Janur Kuning itu. Sejak reformasi, paling kurang muncul empat versi baru tentang dalang di belakang kejadian 30 September 1965 itu.
Pertama, teori WF Wertheim, Coen Holtzappel serta media dan jurnalis Amerika yang mengatakan bahwa Soeharto dan CIA (Badan Intelijen Amerika) yang melakukan operasi intelijen untuk menjebak PKI. Kedua, operasi intelijen Partai Komunis China yang mendalanginya. Ini pernah dikemukakan oleh pihak Amerika dan CIA, lalu dianulir kembali. Ketiga, menurut peneliti dari Universitas Cornell, penyebab pembunuhan adalah konflik internal TNI. Keempat, teori Anthony Dake bahwa Presiden Soekarno sendirilah pelakunya. TNI-AD dan Amerika kemudian menyokong teori ini untuk menjatuhkan Presiden Soekarno yang diklaim membuat sebuah skenario yang melibatkan PKI untuk menghabisi lawan-lawan politiknya, terutama Dewan Jenderal yang pernah berusaha mengkudetanya.
Terlepas dari kontroversi sejarah seputar pelaku gerakan tersebut, kita tak dapat mengelak kenyataan bahwa banyak masyarakat yang menjadi korban peristiwa tersebut. Banyak orang yang dibunuh karena diduga menjadi anggota ataupun simpatisan kelompok terlarang, PKI. Namun di belakang semuanya itu, kita harus jujur bahwa hal itu terjadi dalam suatu kerangka mencari dan merebut kekuasaan. Kejadian yang menjadi awal pembantaian terhadap satu juta lebih masyarakat di seluruh tanah air itu menjadi bagian dari proses peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.
Peristiwa G30S memang telah lama berlalu, namun luka yang ditinggalkannya masih terus menganga, bahkan semakin menimbulkan borok. Upaya memendam kekelaman sejarah bangsa ini dengan dalil melupakan suatu kebiadaban di masa lalu justeru menjadi virus yang terus menimbulkan luka-luka baru. Upaya melupakan sejarah kelam tersebut tanpa suatu rekonsiliasi bagaikan membiarkan duri terus menancap dalam daging.
Entah bagaimana persoalan sebenarnya yang telah merobek hati bangsa, peristiwa tahun 1965 hingga 1966 tersebut patut kita refleksikan kembali saat ini. Hemat saya, bukanlah hal naif bila kita memiliki kecemasan akan terjadinya peristiwa serupa di masa mendatang. Kita perlu berjaga-jaga agar peristiwa yang telah menelan jutaan nyawa tak berdosa itu tidak terjadi lagi dalam cara apa pun.
Viktimisasi korban tiga tingkat
Masyarakat Indonesia yang hidup pada tahun 1965 rata-rata merupakan masyarakat yang miskin. Walaupun telah merdeka selama dua puluh tahun, namun kemiskinan tetap menguasai masyarakat Indonesia pada umumnya. Di pihak lain, segelintir orang justeru semakin meningkat taraf hidupnya. Hal ini terjadi karena sistem yang ada waktu itu tidak mengakomodasi seluruh masyarakat Indonesia untuk maju dan berkembang. Sistem yang ada hanya berpihak pada segelintir orang. Pada titik ini dapat kita lihat bahwa pada masa-masa awal kemerdekaannya itu, banyak masyarakat Indonesia yang menjadi korban ketidakadilan oleh sistem yang berlaku saat itu.
Pengorbanan masyarakat kecil pun kembali terjadi sejak terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap para jenderal TNI-AD. Masyarakat yang buta terhadap politik dan tidak banyak tahu tentang partai politik dikorbankan karena menjadi pengikut PKI. Dalam kemiskinannya yang diakibatkan oleh sistem yang tidak adil, jutaan masyarakat Indonesia dibunuh secara kejam tanpa alasan yang pasti. Mereka yang tak bersalah dikorbankan dan dianggap pemerintah sebagai orang-orang yang bersalah dan patut dilenyapkan dari muka bumi.
Namun, para korban ini kembali dikorbankan dengan manipulasi tentang kebenaran mereka ini. Melupakan sejarah kelam tahun '65 hingga '66 dengan semua korbannya sambil membentangkan sejarah para pemenang merupakan suatu bentuk manipulasi terhadap kebenaran yang ada tentang para korban. Jelaslah bahwa sejarah hampir selalu menunjukkan bahwa yang kalah akan selalu kalah juga di hadapan hukum. Walter Benyamin benar ketika mengatakan bahwa sejarah bangsa-bangsa merupakan sejarah para pemenang, sejarah dari mereka yang berkuasa.
Satu jutaan masyarakat Indonesia yang menjadi korban tahun 1965 hingga 1966 merupakan kelompok yang kalah. Namun setiap korban ini entah yang masih hidup maupun sudah meninggal tetap membutuhkan hukum sehingga kebenaran dapat ditegakkan dan sejarah yang tertulis dapat memperhatikan aspek korban juga. Kenyataannya hingga saat ini tidak ada kejelasan hukum tentang para korban, apalagi para pelakunya dan sejarah tetap menjadi sejarah para pemenang dengan klaimnya yang selalu mempersalahkan yang kalah. Hal inilah yang kita sebut sebagai viktimisasi korban tiga tingkat.
Konteks kita
Dalam konteks kita saat ini, korban masih terus berjatuhan, tetapi dalam cara yang kurang tampak sebagaimana terdapat dalam peristiwa tahun 1965 hingga 1966 sehingga banyak orang menganggapnya bukanlah sebentuk kejahatan lagi. Banyak yang melihat bahwa dalam zaman reformasi ini bentuk-bentuk korban seperti peristiwa '65 dan 66 tidak ada lagi. Namun, bila kita jujur sebenarnya ada banyak orang yang dikorbankan dalam perhelatan politik. Sistem demokrasi yang kita anut selama ini dipelintir sebagai bentuk baru dan halus dalam mengorbankan orang lain (masyarakat lemah) demi kekuasaan. Jelaslah bahwa selalu ada korban dalam berbagai pergolakan kekuasaan. Dalam kerangka mencari kekuasaan ini, kita dapat melihat suatu bentuk viktimisasi terhadap rakyat lemah yang telah menjadi korban sistem yang ada dalam negara kita saat ini.
Susksesi kepemimpinan dari pusat hingga kabupaten justeru menjadi ajang pengorbanan kembali rakyat kelas bawah tersebut. Sistem demokrasi yang 'mengagungkan' rakyat sebagai pemegang kekuasaan justeru digunakan untuk merendahkan martabat rakyat itu sendiri. Pilpres, Pilgub, Pilkada hingga Pileg sarat dengan berbagai bentuk viktimisasi korban. Masyarakat kecil yang dianggap lemah dan tidak memiliki daya kritis, yang adalah korban dari sistem yang tidak adil, diperalat, dimobilisasi, dikibuli dan direndahkan dalam berbagai kampanye politik. Mereka yang telah menjadi korban dari tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme kini dikorbankan dan diperalat demi mencapai kekuasaan. Hal ini malah sudah sangat banal. Seakan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari identitas demokrasi di negeri ini. Kampanye dirangkai sedemikian rupa sehingga bisa memperdaya masyarakat yang kurang memiliki daya kritis, guna mendulang dukungan sebanyak-banyaknya. Sementara kebenaran isi kampanye bisa jadi dinomorsekiankan. Sekali lagi, masyarakat kelas bawah dikorbankan demi kekuasaan.
Selain itu, money politics menjadi senjata lain yang terus mengorbankan masyarakat kelas bawah. Penguasaan politik oleh uang (para pengusaha) menjadikan politik kita timpang dan cenderung membela kepentingan mereka yang memiliki modal. Pembelian suara rakyat dalam berbagai pemilihan juga menjadi bentuk lain dari money politic yang sangat merendahkan martabat masyarakat. Uang mereduksi manusia menjadi budak yang tidak mampu menentukan pilihannya sendiri. Akibat lanjutnya dapat ditemukan setelah pemilu usai, para pemodal (sumber modal dalam kampanye) menjadi pengendali kekuasaan sehingga berbagai kebijakan yang diambil pemerintah lebih berpihak pada kepentingan mereka sementara kesejahteraan masyarakat dilupakan. Kembali rakyat dikorbankan.
Bentuk viktimisasi korban di atas merupakan sedikit dari banyaknya tindakan serupa yang terjadi dalam kerangka memperebutkan kekuasaan dan kelihatan lebih halus dari yang terjadi sejak 30 September 1965 tersebut, namun akibat yang ditimbulkannya tidak kalah buruknya dengan peristiwa G 30 S PKI tersebut. Bentuk viktimisasi korban di atas menjadi alasan mengapa banyak masyarakat lemah tetap miskin, sementara yang kaya semakin kaya. Walaupun rakyat tidak dibunuh secara kejam seperti sejak G30S PKI, namun banyak rakyat kita yang dibunuh secara perlahan karena diperas oleh sistem dan pemerintahan yang tidak adil.
Itu hanyalah sedikit dari sekian banyak bentuk viktimisasi yang dialami rakyat. Sejak kemerdekaan Indonesia ini, masyarakat lemah selalu dikorbankan dalam setiap pergantian kekuasaan. Namun, itu tidak berarti bahwa kita tidak bisa keluar dari persoalan seperti ini. Kita selalu berharap agar dalam berbagai pergolakan merebut tampuk pemerintahan di negara kita ini, rakyat tidak lagi dikorbankan.
Hal ini hanya bisa terwujud bila kita bisa membuka diri terhadap suatu kenyataan perbedaan. Keterbukaan terhadap kenyataan berbeda memungkinkan kita untuk saling menghargai dan melihat bahwa setiap orang penting dan sederajat. Dengan pandangan seperti itu diharapkan tidak ada lagi upaya menjadikan orang lain sebagai korban demi mencapai tujuan (kekuasaan).
Karena itu, kita membutuhkan suatu bentuk demokratisasi pada tataran hati nurani sehingga dalam setiap pergantian kekuasaan kita selalu menghargai perbedaan. Dengan demikian setiap orang tidak menjadikan orang lain sebagai korban demi pencapaian tujuannya. Disposisi batin seperti ini sangat penting bagi kita di zaman dengan tendensi kuat ke arah homogenitas ini. Dengan itu, kita diharapkan bisa menghidupkan demokrasi di negara ini secara lebih nyata. sehingga tidak ada lagi rakyat yang dikorbankan atau dikorbankan berkali-kali lagi. *
Oleh: Florianus Geong (pos-kupang.com)
Krew KMK Ledalero, Maumere
Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, Peristiwa Gerakan G30-S/PKI, Sejarah Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, Tragedi G30-S PKI